Rabu, 29 April 2009

Bentrokan Media Massa Global

Tidak bisa disangkal peran media cukup mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia. Opini atau keputusan kita selaku warga Negara atau sekedar penyimak media berkolerasi dengan pola kita mengkonsumsi media. Dalam dunia yang kian sempit sekaligus kompleks ini, suara-suara alternative memang dibutuhkan demi menyeimbangkan arus informasi yang mewakili kepentingan-kepentingan khusus yang bertujuan menciptakan jurang antara kebenaran sejati dengan kebenaran hasil rekayasa. Karena hal tersebut maka tak urung sering terjadi bentrokan media massa global dari berbagai perspektif. Berita-berita di televisi khususnya Amerika Serikat saat ini tak lebih dari corong pemerintahan Bush. Jika para sponsor dan pemerintah tidak member izin, berita tidak akan dilaporkan.

Peristiwa 11 September 2001 yang lalu telah membuka kembali mata dunia, bahwa ancaman terhadap keamanan negara dapat terjadi kapan saja, dalam bentuk apa saja dan aktor pelaku yang semakin tidak dapat ditebak. Begitu tiba-tibanya serangan pada gedung WTC dan Pen-tagon yang menjadi kebanggaan Amerika tersebut, menimbulkan kepanikan yang luar biasa pada dunia internasional. Bahkan banyak kalangan akademisi hubungan internasional yang menilai bahwa peristiwa ini menjadi titik balik yang menentukan dalam sejarah modern dunia seperti pada saat berakhirnya Perang Dingin tahun 1989.

Seperti saat berakhirnya Perang Dingin, sejarah setelah peristiwa 11 September akan berlainan seperti sebelumnya. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pola hubungan antar negara juga mulai berubah seiring dengan meningkatnya anggaran belanja militer negara-negara dunia. Ketegangan, kecurigaan, dan kontrol keamanan dilakukan lebih ketat akan mewarnai interaksi antar negara di berbagai bidang. Sebaliknya kerjasama keamanan akan marak dilakukan baik bilateral, regional bahkan pada level internasional (multilateral).

Sebenarnya aksi-aksi terorisme bukanlah hal yang baru, bahkan kata “terrorism” telah dikenal pertama kali sejak revolusi Perancis tahun 1789, namun kata terorisme pada masa itu memiliki konotasi yang sangat positif, yang dalam bahasa Perancis : “rĂ©gime de la terreur”, yakni instrumen untuk menjalankan perintah pada periode anarki yang penuh kekerasan, yang ber-kembang selama revolusi 1789 tersebut. Sedangkan gerakan-gerakan terorisme yang berskala internasional seperti 11 September ini juga telah sering terjadi, meskipun mungkin kejadian ini memakan korban nyawa terbesar sekaligus. Terhadap Amerika Serikat (AS) sendiri, tindakan terorisme telah terjadi beberapa kali seperti; serangan pada kedutaan AS di Khartoum, Sudan (Maret 1973), pemboman dua kali terhadap kedutaan AS di Beirut pada 18 April 1983, belum lagi serangan pada kedutaan AS di Nairobi, Kenya (1998), Dar es Salaam, Tanzania (1998), dan banyak lagi.

Berdasarkan fakta kejadian 11 September memang ditujukan untuk negara AS. Akan tetapi ekses-ekses kejadian tersebut melanda pada setiap negara. Dimana, ada kekhawatiran akan terjadi serangan yang sama terhadap negaranya, dan efek tidak langsung yaitu terkena imbas dari kebijakan AS dalam memerangi terorisme yang “membabi buta.” Dampak tidak langsung inilah yang sebenarnya lebih ditakuti masyarakat internasional. Yaitu ketika AS semakin arogan memperlihatkan kekuatannya dan “memaksa” dunia dalam memerangi terorisme internasional.

Dunia memang tengah disibukkan dengan terorisme. Semua berusaha memperlihatkan pada masyarakat internasional bahwa negaranya memusuhi dan memerangi terorisme, negara-negara sibuk pula merumuskan undang-undang domestiknya mengenai terorisme, sebaliknya banyak pula yang berdebat sesama bagnsanya dalam satu negara akibat persoalaan terorisme. Ironis memang, di saat dunia menyerukan perang terhadap terorisme, di saat negara-negara saling beraliansi untuk memberantas aksi terorisme, sementara tidak ada kesepakatan utuh tentang defenisi terorisme yang dapat diterima secara baik oleh masyarakat internasional. Akibat kejadian - kejadian yang kita sebut terorisme inilah Amerika sendiri menuduh Islamlah yang berada dibalik layar tersebut. Terorisme selalu dilakukan oleh sebuah gerakan politik. Gerakan ini umumnya memiliki sayap politik dan sayap militer. Sayap militer inilah yang biasa melakukan kekerasan, menunjukkan kekuatan, agar sayap politik/diplomasi memperoleh amunisi dalam bargaining-power dari apa yng dituntut dan diinginkan. Gerakan seperti ini kadang tidak sungkan untuk mengklaim kekerasan yang tidak dibuatnya hanya agar dikesan-kan kuat, memiliki power, yang nanti akan digunakan dalam negosiasi politik.

Motif politik inilah yang absen dalam rangkaian teror bom "Jemaah Islamiyah" di Indonesia, sejak "bom Natal" (sebelum 11 September Amerika) hingga "Bom Bali", "Bom Marriott" dan "Bom Kedutaan Australia di Jalan Kuningan". Bahkan motif politik itu absen dalam Tragedi 11 September di Amerika.

Kita selalu mendengar motif itu bukan dari pelaku atau tertuduh sendiri, melainkan dari George Bush ("mereka membenci demokrasi dan kebebasan ala Amerika") atau dari polisi Indonesia ("mereka membenci orang kafir").Tidak pernah ada klaim dari pelaku teror untuk ledakan di WTC 11 September 2001, tidak pula dari serangkaian bom di Indonesia. Jika Usamah bin Laden dalangnya, misalnya, kenapa dia justru membantah telah melakukan teror di Amerika itu? Kenapa dia menolak mendapatkan daya taawr politik yang demikian tinggi? Hal serupa terjadi di Indonesia.Kita bisa mengatakan di sini: tidak ada motif politik dari para pelakunya, bahkan jika para tersangka itulah yang benar-benar membunuh dan meledakkan bom. Tidak ada signifikansi politik bagi mereka, bahkan jika mereka memiliki goal politik yang jelas (selama ini tidak jelas).

Sebaliknya dari itu, teror bom baik di Amerika maupun Indonesia justru memberikan leverage politik besar bagi George Bush atau keuntungan politik maupun material bagi Datasemen 88/Pemerintahan Yudhoyono, sama seperti "Teror Komando Jihad" memberi leverage politik pada Rezim Soeharto dulu. Banyak media (televisi dan kantor berita khususnya) tidak bisa melakukan verifikasi untuk alasan yang bisa dipahami, karena keterhimpitan deadline misalnya. Dalam hal ini, banyak media harus bersikap fair kepada pembacanya. Kantor-kantor berita seperti AFP, Reuters atau Associated Press, sering sekali menambahkan frase "The authenticity of the claim could not be immediately verified"--sebuah pengakuan terbuka kepada pembaca/pemirsa bahwa mereka belum sempat membuat verifikasi.

Dalam isu terorisme internasional, misalnya, kantor-kantor berita terus mengulang-ulang frase yang sama, bahwa "The authenticity of the claim could not be immediately verified"--tanpa benar-benar menunaikan pekerjaan rumahnya, yakni verifikasi. Dan terus-menerus menyajikan berita "setengah matang" kepada audiens-nya, tanpa sadar bahwa apa yang sebe-narnya "setengah-fakta" kemudian ditelan pembaca dan pemirsanya sebagai "fakta". Sehingga persepsi yang terjadi sering keliru.begitu juga yang terjadi di Amerika sendiri, meskipun selalu menyerukan demokrasi dan kebebsan namun media massa Amerika Bush cenderung bersifat otoritarian. Namun persepsi media massa Amerika tentang Islam juga sangat ditentukan oleh bagaimana umat Islam menampilkan potret dirinya di hadapan dunia. kembali menegaskan bahwa AS sedang berperang melawan apa yang ia sebut kelompok fasis Islam (Islamic fascist) yang sedang berjuang melawan nilai-nilai kebebasan Barat. Persepsi masyarakat Amerika tentang Islam kurang lebih memang dibentuk oleh media. Tapi itu bukan berarti para elit politik Amerika juga mampu mendiktekan persepsi media tentang apa yang sedang mereka inginkan. Kalau Pemerintahan Bush sedang membangun persepsi tentang musuhnya lewat slogan perang melawan terorisme (war on teror), media Amerika tidak akan bisa terus-menerus terpengaruh oleh penggunakan istilah itu. Namun fakta tidak selalu benar dalam membuktikan hal itu.

Sebenarnya yang membentuk persepsi media Amerika terhadap Islam dan dunia Islam adalah apa yang sedang terjadi di kalangan umat Islam dan dunia Islam sendiri. Misalnya tentang apa yang terjadi di Irak setelah ageresi Amerika di sana. Kini, sudah banyak media massa Amerika yang mulai mempertanyakan banyaknya anak-anak Amerika yang terbunuh setelah dikirimkan untuk menjaga stabilitas ke sana. Yang juga disorot, mengapa masih terjadi konflik Sunni-Syiah. Dari situ mereka melihat masih adanya tindak kekerasan di antara sesama masyarakat muslim sendiri. Media Amerika juga rutin melihat apa yang terjadi di Afganistan dan beberapa tempat di Indonesia, terutama jika ada konflik-konflik yang terkait dengan per-berbedaan agama.

Terkait soal Islam tadi, yang paling dilihat media Amerika sampai saat ini adalah kurangnya suara-suara moderat Islam yang secara tegas mengutuk tindak-tindak kekerasan yang dilaku-kan oleh para tersangka terorisme yang melibatkan mereka-mereka yang memakai label Islam. Itu yang sangat mereka sayangkan.

Beberapa waktu lalu, ada sebuah sebuah survei menarik yang dilakukan oleh CAIR (Council on American-Islamic Relations), sebuah dewan yang membina hubungan antara warga Ame-rika dengan warga Islam. Dari survei itu mereka menyimpulkan bahwa mayoritas warga Amerika bersedia mengubah persepsi mereka menjadi lebih baik terhadap masyarakat muslim seandainya mereka melihat empat hal. 69% responden survei mengatakan akan mengubah persepsinya tentang Islam seandainya komunitas muslim lebih menyuarakan suara-suara tidak setuju atau mengutuk tindakan-tindakan terorisme. Selama ini, mereka merasa kurang mendengarkan itu. Kedua, jika perlakuan masayarakat muslim terhadap perempuan lebih baik lagi. Ketiga, jika umat muslim lebih berusaha membuka diri dan bergaul dengan warga Ame-rika. Keempat, bila umat muslim tampak lebih toleran terhadap warga nonmuslim di negeri-negeri muslim sendiri.

Dalam pemilihan berita, media mana saja memang selalu mempertimbangkan apakah berita itu akan menarik pendengar, pembaca, atau penonton yang lebih luas atau tidak. Kriteria se-macam itu harus kita akui. Mungkin itu suatu kesalahan dalam bermedia. Tapi saya melihat, fakta-fakta tentang tindakan-tindakan baik yang dilakukan oleh banyak muslim, selalu tere-dam oleh tindakan-tindakan yang lebih bombastis, seperti tindakan terorisme yang membunuh banyak orang sekaligus.

Umat Islam memang harus melihat ke dalam dulu. Memang, tindakan banyak politikus atau penguasa Amerika saat ini juga tidak bisa dimaafkan. Tetapi apa yang menjadi pilihan mereka di dalam negrinya sendiri bukanlah urusan kita. Mereka sudah punya sistem sendiri yang dapat menciptakan checks and recheck yang bisa menampilkan objektivitas dan keadilan da-lam apa yang mereka lihat.

Yang terpenting adalah strategi menghadapi terorisme internasional saat ini seharusnya di-landaskan pada persoalan bagaimana menciptakan keseimbangan global yang bersendikan perdamaian dan kemakmuran bersama antarbangsa dalam politik global dibandingkan dengan hanya sekedar unjuk kekuatan.Terbukti, sekarang banyak sekali warga Amerika yang mulai mengakui bahwa perang di Irak adalah perang yang salah. Tapi perubahan persepsi itu tentu bukan urusan kita. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana mengubah persepsi orang lain dengan menampilkan gambaran bahwa agama kita adalah agama kedamaian dan agama kita adalah agama yang mengajarkan hal-hal yang baik.


Referensi :

D. Gray, Jerry.2006. Dosa Dosa Media Amerika. Jakarta: Ufuk Press
Triwahyuni, Dewi. 2008. Terroris Sebagai Non-State Aktor Barudalam Hubungan Internasional.
Gaban, Farid. 2007. Newspeak Terorisme
Artikel Nadia Madjid. Persepsi Tentang Islam Akan Berubah Oleh Empat Hal. 2006

Tidak ada komentar: