Rabu, 29 April 2009
Pencitraan Politik Luar Negeri Indonesia dalam OKI
Terdapat wacana yang beredar yaitu Indonesia dianggap tunduk terhadap genealogi kekuasaan Barat dan tidak bisa memposisikan dirinya sebagai negara Islam Moderat. Sejarah perjalanan kebijakan luar negeri Indonesia sebenarnya tidak mendukung apa yang disebut dengan Islam Moderat tersebut. Walaupun sudah sejak dulu Islam telah menjadi mayoritas di Indonesia, tetapi kebijakan luar negeri Indonesia selalu didominasi oleh kebijakan-kebijakan yang berwarna sekuler. Identitas yang diproyeksikan pun adalah sebagai Negara Pancasila. Islam hanya menjadi mekanisme kontrol apabila kebijakan tersebut telah benar-benar “melukai” interest Islam.
Akibat berbagai faktor yang tidak berpihak pada penggunaan identitas Islam moderat tersebut, kebijakan luar negeri Indonesia pun menjadi tidak efektif dan tidak mempunyai arah untuk mengamankan national interest Indonesia. Lebih parah lagi, Indonesia menjadi terjebak dalam permainan Amerika Serikat dengan menjadi salah satu pion caturnya untuk terus melegitimasi discourse-discourse kekuasaan AS.
Sepertinya Indonesia memang sudah terjebak dengan prinsip “bebas aktif”, bebas tanpa memihak blok manapun, seolah menjadi jembatan penengah, tetapi tidak menjadi posisi yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat.
Mungkin inilah yang hilang dalam politik luar negeri Indonesia: kegagalan melihat realitas yang ada di dalam masyarakat Indonesia dan kegagalan membaca realitas dunia. Identitas Islam moderat dalam proyeksi politik luar negeri Indonesia hanya menjadi sebatas form saja, bukan kepada substancenya. Kita memang melihat Indonesia kini aktif untuk membina hubungan dengan dunia Islam, Namun, jika kita ingin menyimak lebih jauh, kebijakan luar negeri Indonesia yang tanpa arah ini pun bisa terlihat. Misalnya dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebenarnya Indonesia belum menjadikan OKI sebagai salah satu prioritasnya, Indonesia terus menerus hanya menjadi “simpatisan” dalam organisasi ini. Selain itu utang yang besar kepada negara-negara anggota OKI pun menjadi track record Indonesia dalam OKI. Lebih lanjut dalam masalah Iran, Indonesia pun hanya menjadi pemain “luar” tanpa pernah dilibatkan dalam negosiasi langsung antara Iran dan negara-negara Barat.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang tanpa arah ini sebenarnya disebabkan kesalahan pemahaman prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Aksioma ‘bebas-aktif’ selalu digunakan dalam meorientasikan kebijakan-kebijakan Indonesia. Namun, prinsip tersebut selalu dipahami hanya sebatas bebas memilih apa pun dan aktif berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Akibatnya, tidak salah kalau politik luar negeri Indonesia kini diartikan inkonsisten, karena kebijakan-kebijakan luar negeri yang dijalankan Indonesia sedemikian bebasnya hingga benang merah yang ditarik dari politik luar negeri Indonesia menjadi tidak berarti. Indonesia pun hanya berupaya memberikan citranya yang positif dalam dunia internasional khususnya dunia Islam dan tidak memikirkan keuntungan yang akan didapat bagi kesejahteraan rakyatnya. Kebijakan luar negeri Indonesia harus diarahkan kembali menjadi kebijakan yang memberikan interest atau kemakmuran bagi rakyat Indonesia, bukan bagi negara lain.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah sebuah organisasi antarpemerintahan yang menghimpun 57 negara di dunia. OKI didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969) dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsa pada 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik Kristen dan Yahudi di Yerusalem. Tujuan OKI sendiri salah satunya adalah memajukan solidaritas Islam di antara Negara-negara anggota dan menyokong segala kegiatan dan usaha-usaha perdamaian dunia, serta menciptakan keamanan bersama demi tercapainya keadilan social.
Salah satu Negara anggota OKI adalah Indonesia. Seperti yang sudah diuraikan diatas, Muslim Indonesia dikenal sebagai muslim moderat yang tidak anti-Barat dan berhasil mengembangkan demokrasi secara sangat mengesankan. Benarkah ? Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Islam sekaligus negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Setelah Presiden SBY berkunjung ke Iran untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi OKI di Senegal. Kehadiran Presiden SBY dalam KTT tersebut dinilai merupakan langkah yang sangat strategis dan memiliki gema internasional yang luar biasa, khususnya di dunia Islam.
Sejak organisasi negara-negara Islam (The Organization of Islamic Conference/OIC) ini didirikan pada 1969, baru dua kali Presiden RI hadir dalam KTT. Pertama Presiden Megawati di KTT OKI Ke-10 di Kuala Lumpur, dan kedua Presiden SBY ke KTT OKI Ke-12 di Senegal ini. Kehadiran Presiden SBY, presiden dari sebuah negara muslim terbesar di dunia ini, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap masa depan OKI. Kehadiran Presiden SBY dalam KTT OKI ini dapat dipastikan akan memiliki resonansi dan reperkusi yang sangat besar di seantero dunia Islam. Bobot OKI dipastikan akan semakin meningkat. Pasalnya, selama ini Indonesia mengambil posisi yang marginal dan periferal dalam arus utama dunia Islam. Kini, Indonesia di bawah Presiden SBY tampaknya akan memasuki arus utama (mainstream) dunia Islam. Indonesia tidak ingin lagi berada pada posisi periferal di dunia Islam seperti yang selama ini dilakukan, melainkan ingin memulai mengambil posisi utama dan terutama.
Namun sepertinya hal-hal tersebut hanya isapan jempol belaka karena sesungguhnya peran Indonesia dalam kelompok negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) dinilai sangat minim, bahkan mati. Hal ini terlihat jelas dengan berbagai hasil atau rekomendasi dari OKI yang tidak berbobot. Selain itu, rekomendasi juga tidak memiliki kekuatan daya tawar (bargaining power) dalam menyikapi beberapa konflik negara Islam seperti di Palestina. Posisi Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia, yang dinilai tidak bisa berbuat banyak dengan tekanan negara adikuasa terhadap OKI. Hal tersebut dikarenakan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.
Kalaupun itu dapat berjalan diharapkan Indonesia perlu memanfaatkan momentum yang sangat strategis dalam KTT OKI itu untuk menawarkan ide-ide yang konkret dalam rangka membangun dunia Islam yang masih serba terbelakang di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradaban modern.
Dan yang lebih penting lagi, menawarkan kerja sama yang konkret di antara negara-negara muslim di dunia dalam bidang ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Selama ini, dunia Islam- sebagai akibat kolonialisme dan imperialisme berabad-abad masih berkutat dalam gejolak politik yang tidak berkesudahan yang mengakibatkan terabaikannya pembangunan ekonomi, kesejahteraan, dan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Presiden Republik Indonesia perlu dan harus mampu meyakinkan dunia Islam dalam KTT OKI ini untuk menggalang kerja sama yang nyata di bidang-bidang tersebut. Apalagi dalam KTT OKI kali ini akan disepakati piagam atau charter OKI yang selama ini belum ada. Dengan charter ini diharapkan OKI semakin solid dan kuat. Lebih daripada itu, akan memiliki landasan legal dalam beraktivitas. Indonesia diharapkan mampu membawa kepentingan nasional dalam konferensi ini. Bahkan, sekaligus memimpin OKI di masa-masa mendatang.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya Indonesia dengan OKI yang didalamnya terdapat Negara-negara Islam menunjukan bahwa keinginan Indonesia untuk bekerjasama baik untuk national interest maupun perdamamian dunia dengan memberikan citranya yang positif dalam dunia internasional khususnya dunia Islam menggunakan komunikasi “The politics of complex interdependency and transnational Relaions” yang berkembang sekitar 1960-1970an. Namun, sudah saatnya kita menghentikan politik luar negeri pencitraan dan ambisi yang berlebihan, karena pada dasarnya Indonesia cenderung Idealis, sehingga realitas pun punya beragam versi narasi. Maka jawaban kita pun tak salah jika berwarna-warni.
Referensi :
www.news.okezone.com
www.suarakarya-online.com
Portalhi.web.id
www.cmm.or.id
id.wikipedia.org
Akibat berbagai faktor yang tidak berpihak pada penggunaan identitas Islam moderat tersebut, kebijakan luar negeri Indonesia pun menjadi tidak efektif dan tidak mempunyai arah untuk mengamankan national interest Indonesia. Lebih parah lagi, Indonesia menjadi terjebak dalam permainan Amerika Serikat dengan menjadi salah satu pion caturnya untuk terus melegitimasi discourse-discourse kekuasaan AS.
Sepertinya Indonesia memang sudah terjebak dengan prinsip “bebas aktif”, bebas tanpa memihak blok manapun, seolah menjadi jembatan penengah, tetapi tidak menjadi posisi yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat.
Mungkin inilah yang hilang dalam politik luar negeri Indonesia: kegagalan melihat realitas yang ada di dalam masyarakat Indonesia dan kegagalan membaca realitas dunia. Identitas Islam moderat dalam proyeksi politik luar negeri Indonesia hanya menjadi sebatas form saja, bukan kepada substancenya. Kita memang melihat Indonesia kini aktif untuk membina hubungan dengan dunia Islam, Namun, jika kita ingin menyimak lebih jauh, kebijakan luar negeri Indonesia yang tanpa arah ini pun bisa terlihat. Misalnya dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebenarnya Indonesia belum menjadikan OKI sebagai salah satu prioritasnya, Indonesia terus menerus hanya menjadi “simpatisan” dalam organisasi ini. Selain itu utang yang besar kepada negara-negara anggota OKI pun menjadi track record Indonesia dalam OKI. Lebih lanjut dalam masalah Iran, Indonesia pun hanya menjadi pemain “luar” tanpa pernah dilibatkan dalam negosiasi langsung antara Iran dan negara-negara Barat.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang tanpa arah ini sebenarnya disebabkan kesalahan pemahaman prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Aksioma ‘bebas-aktif’ selalu digunakan dalam meorientasikan kebijakan-kebijakan Indonesia. Namun, prinsip tersebut selalu dipahami hanya sebatas bebas memilih apa pun dan aktif berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Akibatnya, tidak salah kalau politik luar negeri Indonesia kini diartikan inkonsisten, karena kebijakan-kebijakan luar negeri yang dijalankan Indonesia sedemikian bebasnya hingga benang merah yang ditarik dari politik luar negeri Indonesia menjadi tidak berarti. Indonesia pun hanya berupaya memberikan citranya yang positif dalam dunia internasional khususnya dunia Islam dan tidak memikirkan keuntungan yang akan didapat bagi kesejahteraan rakyatnya. Kebijakan luar negeri Indonesia harus diarahkan kembali menjadi kebijakan yang memberikan interest atau kemakmuran bagi rakyat Indonesia, bukan bagi negara lain.
Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah sebuah organisasi antarpemerintahan yang menghimpun 57 negara di dunia. OKI didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969) dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsa pada 21 Agustus 1969 oleh pengikut fanatik Kristen dan Yahudi di Yerusalem. Tujuan OKI sendiri salah satunya adalah memajukan solidaritas Islam di antara Negara-negara anggota dan menyokong segala kegiatan dan usaha-usaha perdamaian dunia, serta menciptakan keamanan bersama demi tercapainya keadilan social.
Salah satu Negara anggota OKI adalah Indonesia. Seperti yang sudah diuraikan diatas, Muslim Indonesia dikenal sebagai muslim moderat yang tidak anti-Barat dan berhasil mengembangkan demokrasi secara sangat mengesankan. Benarkah ? Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Islam sekaligus negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Setelah Presiden SBY berkunjung ke Iran untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi OKI di Senegal. Kehadiran Presiden SBY dalam KTT tersebut dinilai merupakan langkah yang sangat strategis dan memiliki gema internasional yang luar biasa, khususnya di dunia Islam.
Sejak organisasi negara-negara Islam (The Organization of Islamic Conference/OIC) ini didirikan pada 1969, baru dua kali Presiden RI hadir dalam KTT. Pertama Presiden Megawati di KTT OKI Ke-10 di Kuala Lumpur, dan kedua Presiden SBY ke KTT OKI Ke-12 di Senegal ini. Kehadiran Presiden SBY, presiden dari sebuah negara muslim terbesar di dunia ini, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap masa depan OKI. Kehadiran Presiden SBY dalam KTT OKI ini dapat dipastikan akan memiliki resonansi dan reperkusi yang sangat besar di seantero dunia Islam. Bobot OKI dipastikan akan semakin meningkat. Pasalnya, selama ini Indonesia mengambil posisi yang marginal dan periferal dalam arus utama dunia Islam. Kini, Indonesia di bawah Presiden SBY tampaknya akan memasuki arus utama (mainstream) dunia Islam. Indonesia tidak ingin lagi berada pada posisi periferal di dunia Islam seperti yang selama ini dilakukan, melainkan ingin memulai mengambil posisi utama dan terutama.
Namun sepertinya hal-hal tersebut hanya isapan jempol belaka karena sesungguhnya peran Indonesia dalam kelompok negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) dinilai sangat minim, bahkan mati. Hal ini terlihat jelas dengan berbagai hasil atau rekomendasi dari OKI yang tidak berbobot. Selain itu, rekomendasi juga tidak memiliki kekuatan daya tawar (bargaining power) dalam menyikapi beberapa konflik negara Islam seperti di Palestina. Posisi Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia, yang dinilai tidak bisa berbuat banyak dengan tekanan negara adikuasa terhadap OKI. Hal tersebut dikarenakan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.
Kalaupun itu dapat berjalan diharapkan Indonesia perlu memanfaatkan momentum yang sangat strategis dalam KTT OKI itu untuk menawarkan ide-ide yang konkret dalam rangka membangun dunia Islam yang masih serba terbelakang di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peradaban modern.
Dan yang lebih penting lagi, menawarkan kerja sama yang konkret di antara negara-negara muslim di dunia dalam bidang ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Selama ini, dunia Islam- sebagai akibat kolonialisme dan imperialisme berabad-abad masih berkutat dalam gejolak politik yang tidak berkesudahan yang mengakibatkan terabaikannya pembangunan ekonomi, kesejahteraan, dan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Presiden Republik Indonesia perlu dan harus mampu meyakinkan dunia Islam dalam KTT OKI ini untuk menggalang kerja sama yang nyata di bidang-bidang tersebut. Apalagi dalam KTT OKI kali ini akan disepakati piagam atau charter OKI yang selama ini belum ada. Dengan charter ini diharapkan OKI semakin solid dan kuat. Lebih daripada itu, akan memiliki landasan legal dalam beraktivitas. Indonesia diharapkan mampu membawa kepentingan nasional dalam konferensi ini. Bahkan, sekaligus memimpin OKI di masa-masa mendatang.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya Indonesia dengan OKI yang didalamnya terdapat Negara-negara Islam menunjukan bahwa keinginan Indonesia untuk bekerjasama baik untuk national interest maupun perdamamian dunia dengan memberikan citranya yang positif dalam dunia internasional khususnya dunia Islam menggunakan komunikasi “The politics of complex interdependency and transnational Relaions” yang berkembang sekitar 1960-1970an. Namun, sudah saatnya kita menghentikan politik luar negeri pencitraan dan ambisi yang berlebihan, karena pada dasarnya Indonesia cenderung Idealis, sehingga realitas pun punya beragam versi narasi. Maka jawaban kita pun tak salah jika berwarna-warni.
Referensi :
www.news.okezone.com
www.suarakarya-online.com
Portalhi.web.id
www.cmm.or.id
id.wikipedia.org
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar